![]() | |
| gambar: puisidanmadahcinta.blogspot.com |
12 Agustus 2014.
Pagi itu adalah pagi terakhir aku berada di rumahku
tercinta. Rumah menyejukkan berwarna hijau di pinggir Kota Curup, yang di
depannya ada tulisan Ketua RW 05 Tempel Rejo. Ya, itu rumahku. Tempatku tumbuh,
mengenal cinta, dan tujuan terakhirku. Tempatku pulang, hempaskan segala peluh
yang terus mengejarku.
Kenapa aku bilang pagi terakhir, karena sore itu aku akan
merantau ke Jogja, menelusuri liku hidupku di sana.
Jogja, tanah impianku, tempatku labuhkan semua mimpiku.
Tapi entah kenapa, pagi itu aku benci harus ke Jogja. Aku benci meninggalkan
Curup. Rasanya aku ingin kuliah di Curup saja. Aku tak suka meninggalkan orang
tuaku, teman-temanku, sekolahku, dan mantan gebetanku. Haha, mantan gebetan.
Tapi, aku bisa apa? Waktu untuk pergi sudah tiba. Waktu
tak pernah terlambat. Inilah saatnya aku keluar dari zona nyamanku, hmm bukan
keluar dari zona nyaman, maksudku, bergeser sedikit untuk mencari kenyamanan
baru. Mencari ilmu di kota orang, sekalian mencoba menemukan cinta yang lain.
^^
Siang itu, tiba-tiba Curup diguyur hujan lebat. Semua
rencana teman-temanku untuk mengantarkanku saat itu, gagal total. Sialan. Aku
menunggu bus datang seorang diri. Tak ada teman dan tak ada sang mantan
gebetan. Aku galauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu. H A H A.
^^
Hujan masih membasahi tanah kelahiranku saat jam tanganku
menunjukkan pukul 18:15 wib. Bus yang akan membawaku menjauh dari kesempurnaan
ini belum juga datang. Aku memutuskan untuk mengadu pada sang Pencipta, yang
maha mengetahui isi hatiku saat ini. Aku berdoa, “Tuhan, izinkan aku memeluknya, mungkin tuk terakhir kali. Agar aku
dapat merasakan cinta ini selamanya.” Aku tidak tahu, apakah aku akan berdosa
jika berdoa seperti itu. Entahlah, aku tidak peduli. Aku yakin, Tuhan pasti
tahu apa yang aku maksud.
Aku kembali ke ruang tunggu dan
menemukan Ibuku duduk sambil memeluk tasku. Wajahnya lelah, mungkin ia
mengantuk. Aku pasti akan sangat merindukan dirimu, Bu. Di sudut sana, kulihat
Bapakku asyik memainkan ponselnya, sambil sesekali melihat jam di tangan.
Mungkin ia sedang menerka-nerka, kapan kereta kencana yang akan membawaku pergi
akan tiba. Kakakku melamun menatap jalan di depannya. Entah apa yang ia
pikirkan. Sedangkan aku, hanya diam. Hanya bosan. Ya, ini sudah terlalu lama.
Sejak jam 12:00 wib kami menunggu, sampai sekarang yang ditunggu tak kunjung
datang. Aku bosan dalam hampa, bosan dalam kesedihan, tapi tak pernah bosan
mengingat wajahnya, yang mungkin tak akan pernah aku lihat lagi. Aku mengambil ponselku,
memasang earphone dan menyalakan musik. Kata demi kata lagu ‘di ujung jalan
ini’ menusuk hatiku. Aku semakin ringkuh dalam dekapan sang hujan.
Di ujung
jalan ini
Aku
menunggumu, aku menantimu
Di tengah
terik matahari
Aku
menyanyikan kisah tentang kita
Alunan
denting suara hati mengulas kembali
Jejak yang
tlah lalu
Untaian
makna yang tercipta
Aku
abadikan ditempat terindah
Tuhan
kembalikan segalanya tentang dia seperti sedia
kala
Izinkan
aku tuk memeluknya mungkin tuk terakhir kali
Agar aku
dapat merasakan cinta ini selamanya
Ketika
malam telah tiba
Aku
menyadari kau takkan kembali
Kulirik
jam di telepon genggamku, 21:00 wib. Apa busnya tidak jadi datang? Semoga. Aku
berharap begitu, agar aku bisa menemuinya, sekali lagi. Satu kali lagi. Tapi,
Tuhan punya rencana lain. 21:05 wib, bus datang.
Aku
mencium tangan Bapak dan Ibu. Mencium kedua pipi mereka, lama. Sangat lama. Aku
tak ingin meninggalkan mereka. Sungguh. Tapi nyatanya, aku pergi juga. Sampai
jumpa tahun depan, Bapak Ibu. Sampai jumpa Curup, Tempel Rejo, Ujan Mas. Semoga
kita masih bisa dipertemukan setahun lagi. Amin.
^^
Malam
semakin larut; malam di dalam bus. Aku terlelap, lagu milik Samsons yang sejak
beberapa hari menemaniku, masih setia menghantarkanku tidur. Menutup mata,
sejenak menghapus bayang sang mantan gebetan yang semakin gencar
mengejarku. Langit kiat pekat, malam
telah tiba dan aku menyadari, kau takkan kembali.
^^
Sudah
seminggu aku di Jogja. Tapi rinduku pada kampung halaman, layaknya perantau
yang telah dua tahun meninggalkan rumah. Lagu ‘Di ujung jalan ini’ masih masuk
dalam playlist wajibku. Sepertinya akan selamanya. Aihh, menyedihkan.
By the way, sang mantan gebetan sedang
apa sekarang? Kalian pasti bertanya kenapa aku menyebutnya mantan gebetan. Itu
karena aku berniat menutup buku tentangnya. Aku ingin juga bahagia seperti yang
lainnya. Aku ingin move on dari gebetan, dan mencari hati yang lain. Nyatanya,
aku gagal. Aku masih belum mampu. Semua terlalu cepat bagiku. Aku (masih) suka
dia.
^^
Malam
pitulasan di Onggobayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Bippbipp.
Ada
sms. Siapakah gerangan? Aku sedang tidak mood smsan. Aku masih terlalu bersedih
hati. Tapi, aku penasaran juga. Kulihat namanya di layar hp-ku. Ya, dia sang
mantan gebetan. What the…. Ini mimpikah? Ternyata tidak. Kepalaku sakit ketika
aku menghantamnya dengan sendok. Berarti ini nyata. Oh, Tuhan.
Masih
merasa dalam mimpi, aku membalas pesan singkatnya. Aku jadi curiga. Kuamati
sekelilingku, mencari kamera. Siapa tahu aku sedang dikerjai, masuk acara CCTV,
Jebakan Betmen, Ups Salah Sambung, atau Supertrap. Tapi aku tak menemukannya.
Thanks
God, aku tak pernah (lagi) meminta ini, tapi kau memberiku. Kau memberi lebih
dari yang aku minta. Aku hanya meminta hatinya, tapi Kau memberiku hatinya dan
jarak sebagai bonusnya. Alhamdulilah, aku telah mendapatkan jawaban atas
penantian panjangku.
^^
Sebelumnya,
aku kira kita tidak akan bertemu lagi, tak akan bertukar cerita lagi, hilang
kontak. Aku pikir, senja di Curup sembilan hari lalu itu adalah senja terakhir
untuk kita saling menatap, saling mendengar dan saling mengagumi. Hmm, maksudku
detik terakhir aku mengagumimu. Ternyata aku salah. Rencana Tuhan memang tak
pernah bisa ditebak. Datang secara tiba-tiba dan membuatku lupa cara berbicara.

0 komentar:
Posting Komentar