12345678910111213141516171819202122232425262728 Di Ujung Jalan https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1W6iaD-pWVMDEiDGJFL1ESqtn6t-reBv8Y1AMP23xq5cO6GVYQ6dNh4VMRhor4p8TCGdCApsB59XPLhOHU2D60H-rG1tQ1r_TXbMq1DLnXQterutrYNBqMm38lwiym3bWQ94zL8liMzk/s128-no/Loading4.GIF

Di Ujung Jalan

Kamis, 18 September 2014

12345678910111213141516
gambar: puisidanmadahcinta.blogspot.com







            12 Agustus 2014.
            Pagi itu adalah pagi terakhir aku berada di rumahku tercinta. Rumah menyejukkan berwarna hijau di pinggir Kota Curup, yang di depannya ada tulisan Ketua RW 05 Tempel Rejo. Ya, itu rumahku. Tempatku tumbuh, mengenal cinta, dan tujuan terakhirku. Tempatku pulang, hempaskan segala peluh yang terus mengejarku.
            Kenapa aku bilang pagi terakhir, karena sore itu aku akan merantau ke Jogja, menelusuri liku hidupku di sana.
            Jogja, tanah impianku, tempatku labuhkan semua mimpiku. Tapi entah kenapa, pagi itu aku benci harus ke Jogja. Aku benci meninggalkan Curup. Rasanya aku ingin kuliah di Curup saja. Aku tak suka meninggalkan orang tuaku, teman-temanku, sekolahku, dan mantan gebetanku. Haha, mantan gebetan.
            Tapi, aku bisa apa? Waktu untuk pergi sudah tiba. Waktu tak pernah terlambat. Inilah saatnya aku keluar dari zona nyamanku, hmm bukan keluar dari zona nyaman, maksudku, bergeser sedikit untuk mencari kenyamanan baru. Mencari ilmu di kota orang, sekalian mencoba menemukan cinta yang lain.
^^
            Siang itu, tiba-tiba Curup diguyur hujan lebat. Semua rencana teman-temanku untuk mengantarkanku saat itu, gagal total. Sialan. Aku menunggu bus datang seorang diri. Tak ada teman dan tak ada sang mantan gebetan. Aku galauuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu. H A H A.
^^
            Hujan masih membasahi tanah kelahiranku saat jam tanganku menunjukkan pukul 18:15 wib. Bus yang akan membawaku menjauh dari kesempurnaan ini belum juga datang. Aku memutuskan untuk mengadu pada sang Pencipta, yang maha mengetahui isi hatiku saat ini. Aku berdoa, “Tuhan, izinkan aku memeluknya, mungkin tuk terakhir kali. Agar aku dapat merasakan cinta ini selamanya.” Aku tidak tahu, apakah aku akan berdosa jika berdoa seperti itu. Entahlah, aku tidak peduli. Aku yakin, Tuhan pasti tahu apa yang aku maksud.
            Aku kembali ke ruang tunggu dan menemukan Ibuku duduk sambil memeluk tasku. Wajahnya lelah, mungkin ia mengantuk. Aku pasti akan sangat merindukan dirimu, Bu. Di sudut sana, kulihat Bapakku asyik memainkan ponselnya, sambil sesekali melihat jam di tangan. Mungkin ia sedang menerka-nerka, kapan kereta kencana yang akan membawaku pergi akan tiba. Kakakku melamun menatap jalan di depannya. Entah apa yang ia pikirkan. Sedangkan aku, hanya diam. Hanya bosan. Ya, ini sudah terlalu lama. Sejak jam 12:00 wib kami menunggu, sampai sekarang yang ditunggu tak kunjung datang. Aku bosan dalam hampa, bosan dalam kesedihan, tapi tak pernah bosan mengingat wajahnya, yang mungkin tak akan pernah aku lihat lagi. Aku mengambil ponselku, memasang earphone dan menyalakan musik. Kata demi kata lagu ‘di ujung jalan ini’ menusuk hatiku. Aku semakin ringkuh dalam dekapan sang hujan.
Di ujung jalan ini
Aku menunggumu, aku menantimu
Di tengah terik matahari
Aku menyanyikan kisah tentang kita

Alunan denting suara hati mengulas kembali
Jejak yang tlah lalu
Untaian makna yang tercipta
Aku abadikan ditempat terindah

Tuhan kembalikan segalanya tentang dia seperti sedia kala           
Izinkan aku tuk memeluknya mungkin tuk terakhir kali
Agar aku dapat merasakan cinta ini selamanya

Ketika malam telah tiba
Aku menyadari kau takkan kembali

            Kulirik jam di telepon genggamku, 21:00 wib. Apa busnya tidak jadi datang? Semoga. Aku berharap begitu, agar aku bisa menemuinya, sekali lagi. Satu kali lagi. Tapi, Tuhan punya rencana lain. 21:05 wib, bus datang.

            Aku mencium tangan Bapak dan Ibu. Mencium kedua pipi mereka, lama. Sangat lama. Aku tak ingin meninggalkan mereka. Sungguh. Tapi nyatanya, aku pergi juga. Sampai jumpa tahun depan, Bapak Ibu. Sampai jumpa Curup, Tempel Rejo, Ujan Mas. Semoga kita masih bisa dipertemukan setahun lagi. Amin.

^^

            Malam semakin larut; malam di dalam bus. Aku terlelap, lagu milik Samsons yang sejak beberapa hari menemaniku, masih setia menghantarkanku tidur. Menutup mata, sejenak menghapus bayang sang mantan gebetan yang semakin gencar mengejarku.  Langit kiat pekat, malam telah tiba dan aku menyadari, kau takkan kembali.

^^

            Sudah seminggu aku di Jogja. Tapi rinduku pada kampung halaman, layaknya perantau yang telah dua tahun meninggalkan rumah. Lagu ‘Di ujung jalan ini’ masih masuk dalam playlist wajibku. Sepertinya akan selamanya. Aihh, menyedihkan.
           
            By the way, sang mantan gebetan sedang apa sekarang? Kalian pasti bertanya kenapa aku menyebutnya mantan gebetan. Itu karena aku berniat menutup buku tentangnya. Aku ingin juga bahagia seperti yang lainnya. Aku ingin move on dari gebetan, dan mencari hati yang lain. Nyatanya, aku gagal. Aku masih belum mampu. Semua terlalu cepat bagiku. Aku (masih) suka dia.

^^
            Malam pitulasan di Onggobayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

            Bippbipp.
            Ada sms. Siapakah gerangan? Aku sedang tidak mood smsan. Aku masih terlalu bersedih hati. Tapi, aku penasaran juga. Kulihat namanya di layar hp-ku. Ya, dia sang mantan gebetan. What the…. Ini mimpikah? Ternyata tidak. Kepalaku sakit ketika aku menghantamnya dengan sendok. Berarti ini nyata. Oh, Tuhan.

            Masih merasa dalam mimpi, aku membalas pesan singkatnya. Aku jadi curiga. Kuamati sekelilingku, mencari kamera. Siapa tahu aku sedang dikerjai, masuk acara CCTV, Jebakan Betmen, Ups Salah Sambung, atau Supertrap. Tapi aku tak menemukannya.

            Thanks God, aku tak pernah (lagi) meminta ini, tapi kau memberiku. Kau memberi lebih dari yang aku minta. Aku hanya meminta hatinya, tapi Kau memberiku hatinya dan jarak sebagai bonusnya. Alhamdulilah, aku telah mendapatkan jawaban atas penantian panjangku.

^^

            Sebelumnya, aku kira kita tidak akan bertemu lagi, tak akan bertukar cerita lagi, hilang kontak. Aku pikir, senja di Curup sembilan hari lalu itu adalah senja terakhir untuk kita saling menatap, saling mendengar dan saling mengagumi. Hmm, maksudku detik terakhir aku mengagumimu. Ternyata aku salah. Rencana Tuhan memang tak pernah bisa ditebak. Datang secara tiba-tiba dan membuatku lupa cara berbicara.

           

0 komentar:

Posting Komentar