Perkenalkan saya Meilinda Dwi Pertiwi. Saya adalah mahasiswi baru jurusan akuntansi di Universitas Teknologi Yogyakarta(UTY).
Banyak orang bilang saya sangat beruntung dapat tempat
kuliah tanpa tes, dapat potongan biaya, di Jogja, dan pasti. Tidak seperti sebagian teman
seperjuangan saya yang langkahnya urung ia pijakkan karena satu dan lain hal.
Mereka menganggap saya amat sangat beruntung. Saya rasa memang begitu. Saya
memang beruntung bisa mendapatkan tempat untuk lanjutkan mimpi dengan mudah.
Bahkan sebelum dinyatakan lulus ujian pun, saya sudah tercatat menjadi
mahasiswa baru di UTY. Disaat teman-teman saya masih bingung memilih jurusan
kuliah, S1 Akuntansi sudah ada di tangan saya. Tak terlalu kuat saya menggenggam
‘masa depan’ saya itu, bisa dibilang hanya saya letakkan di ujung jari manis
saya.
^^
Ada hari dimana saya mulai belajar menggandeng ‘masa
depan’ itu. Hari dimana saya harus
melepas apa yang sejak dulu saya idamkan, harus merelakan apa yang sejak dulu
saya perjuangkan, dan harus melupakan apa yang sejak dulu jadi motivasi saya
untuk terus bertahan belajar matematika lima jam dalam sehari bersama Pak
Tanggang. Satu kursi milik Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Saya belum
berhasil menerjang tembok angkuh itu. Bukan, bukan karena ia terlalu kuat,
hanya saja saya yang terlalu lemah. Ya, saya tahu itu. Saya sadar, di luar sana
banyak yang meragukan dan mencemooh keputusan saya untuk memasukkan PTN
tersebut ke dalam list. Menurut mereka, tidak seharusnya saya dengan lancang
membayangkan akan jadi mahasiswi di sana. Mustahil, bodoh, bagai ingin meraih
bulan, tak mungkin orang kecil bisa dapat yang besar. Ahh, biarlah, persetan
dengan opini mereka. Toh mereka yang berharap pada ‘hal kecil’ itu juga tidak
berhasil. Apa bedanya berlutut pada yang besar atau yang kecil? Ujung-ujungnya
tidak ada yang berhasil. H A H A….
Tapi ini bukan tentang besar atau kecil, gagal atau
berhasil, bisa atau mustahil. Ini tentang apa yang harus dilakukan setelah saya
dapat yang besar atau kecil, setelah saya gagal atau berhasil, setelah saya
bergumam bisa atau mustahil. Saya yang melakukan, saya yang mendapatkan, dan
saya yang mempertanggungjawabkan.
Orang bilang saya hanya mengajukan, diterima,
menyerahkan, diterima, menyetor, diterima. Mengajukan, menyerahkan, menyetor
dengan senyum penuh kemenangan, itu yang mereka lihat. Tapi bayangan saya
melihat apa yang tidak mereka lihat. Tentang orang tua yang siang malam tak
henti memikirkan kemana berlabuh untuk mencerahkan masa depan saya. Tentang
orang tua yang pagi sore tak hentikan langkah mencari setetes kedamaian yang
akan ia bawa pulang dan berikan kepada saya. Tentang Bapak yang selalu memimpin
jalan ke depan untuk menemukan jalan menuju ‘saya’ yang sebenarnya. Tentang Ibu
yang selalu duduk di kursi tua di depan jendela sambil menjahit selendang yang
akan membawa saya terbang menggapai ‘saya’ yang masih di atas sana. Tentang
Kakak yang selalu memetik gitar kesayangannya, menghasilkan nada-nada indah yang
sengaja ia persembahkan untuk menemani langkah saya. Dan…. tentang dompet orang
tua saya yang mendadak menipis untuk menyewa kereta kencana yang akan membawa
saya pada malam indah, dimana di sanalah mimpi terbesar saya tertanam.
Saya bukan orang yang amat sangat kaya. Bukan orang yang
amat sangat pintar. Bukan orang yang amat sangat beruntung, tapi bukan juga
orang yang amat sangat merugi. Jalan menuju saya yang sekarang tidak semulus
yang mereka pikirkan. Liku yang saya tempuh tidak semudah yang mereka kira.
Semua yang terjadi sejak dulu sampai saat ini bukan sekedar mainan. Hidup tidak
sebercanda itu. Saya tidak boleh membuat orang tua saya merasa sia-sia
memperjuangkan saya selama ini. Perjuangan saya juga tak boleh biasa-biasa
saja. Tidak boleh menyamakan diri dengan orang-orang yang berjuang dengan menyebarkan uang ke orang dalam. Harus ada
perubahan. Kehidupan orang tua saya tak boleh seperti ini saja. Mereka harus
lebih lebih lebih dan lebih dari sekarang. Saya harus bisa mengembalikan apa
yang selama ini mereka beri. Bukan melulu soal materi. Lebih dari itu. Sesuatu
yang tak semua orang bisa merasakan. Sekarang akan saya genggam kuat-kuat ‘masa
depan’ saya. Akan saya tebus semua kebahagiaan yang kini tertunda karena
keegoisan saya memilih jalan ini.

0 komentar:
Posting Komentar