12345678910111213141516171819202122232425262728 Saya dan yang Tak Terlihat https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1W6iaD-pWVMDEiDGJFL1ESqtn6t-reBv8Y1AMP23xq5cO6GVYQ6dNh4VMRhor4p8TCGdCApsB59XPLhOHU2D60H-rG1tQ1r_TXbMq1DLnXQterutrYNBqMm38lwiym3bWQ94zL8liMzk/s128-no/Loading4.GIF

Saya dan yang Tak Terlihat

Rabu, 06 Agustus 2014

12345678910111213141516
           

            Perkenalkan saya Meilinda Dwi Pertiwi. Saya adalah mahasiswi baru jurusan akuntansi di Universitas Teknologi Yogyakarta(UTY).
            Banyak orang bilang saya sangat beruntung dapat tempat kuliah tanpa tes, dapat potongan biaya, di Jogja, dan  pasti. Tidak seperti sebagian teman seperjuangan saya yang langkahnya urung ia pijakkan karena satu dan lain hal. Mereka menganggap saya amat sangat beruntung. Saya rasa memang begitu. Saya memang beruntung bisa mendapatkan tempat untuk lanjutkan mimpi dengan mudah. Bahkan sebelum dinyatakan lulus ujian pun, saya sudah tercatat menjadi mahasiswa baru di UTY. Disaat teman-teman saya masih bingung memilih jurusan kuliah, S1 Akuntansi sudah ada di tangan saya. Tak terlalu kuat saya menggenggam ‘masa depan’ saya itu, bisa dibilang hanya saya letakkan di ujung jari manis saya.
^^
            Ada hari dimana saya mulai belajar menggandeng ‘masa depan’ itu.  Hari dimana saya harus melepas apa yang sejak dulu saya idamkan, harus merelakan apa yang sejak dulu saya perjuangkan, dan harus melupakan apa yang sejak dulu jadi motivasi saya untuk terus bertahan belajar matematika lima jam dalam sehari bersama Pak Tanggang. Satu kursi milik Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Saya belum berhasil menerjang tembok angkuh itu. Bukan, bukan karena ia terlalu kuat, hanya saja saya yang terlalu lemah. Ya, saya tahu itu. Saya sadar, di luar sana banyak yang meragukan dan mencemooh keputusan saya untuk memasukkan PTN tersebut ke dalam list. Menurut mereka, tidak seharusnya saya dengan lancang membayangkan akan jadi mahasiswi di sana. Mustahil, bodoh, bagai ingin meraih bulan, tak mungkin orang kecil bisa dapat yang besar. Ahh, biarlah, persetan dengan opini mereka. Toh mereka yang berharap pada ‘hal kecil’ itu juga tidak berhasil. Apa bedanya berlutut pada yang besar atau yang kecil? Ujung-ujungnya tidak ada yang berhasil. H A H A….
            Tapi ini bukan tentang besar atau kecil, gagal atau berhasil, bisa atau mustahil. Ini tentang apa yang harus dilakukan setelah saya dapat yang besar atau kecil, setelah saya gagal atau berhasil, setelah saya bergumam bisa atau mustahil. Saya yang melakukan, saya yang mendapatkan, dan saya yang mempertanggungjawabkan.
            Orang bilang saya hanya mengajukan, diterima, menyerahkan, diterima, menyetor, diterima. Mengajukan, menyerahkan, menyetor dengan senyum penuh kemenangan, itu yang mereka lihat. Tapi bayangan saya melihat apa yang tidak mereka lihat. Tentang orang tua yang siang malam tak henti memikirkan kemana berlabuh untuk mencerahkan masa depan saya. Tentang orang tua yang pagi sore tak hentikan langkah mencari setetes kedamaian yang akan ia bawa pulang dan berikan kepada saya. Tentang Bapak yang selalu memimpin jalan ke depan untuk menemukan jalan menuju ‘saya’ yang sebenarnya. Tentang Ibu yang selalu duduk di kursi tua di depan jendela sambil menjahit selendang yang akan membawa saya terbang menggapai ‘saya’ yang masih di atas sana. Tentang Kakak yang selalu memetik gitar kesayangannya, menghasilkan nada-nada indah yang sengaja ia persembahkan untuk menemani langkah saya. Dan…. tentang dompet orang tua saya yang mendadak menipis untuk menyewa kereta kencana yang akan membawa saya pada malam indah, dimana di sanalah mimpi terbesar saya tertanam.
            Saya bukan orang yang amat sangat kaya. Bukan orang yang amat sangat pintar. Bukan orang yang amat sangat beruntung, tapi bukan juga orang yang amat sangat merugi. Jalan menuju saya yang sekarang tidak semulus yang mereka pikirkan. Liku yang saya tempuh tidak semudah yang mereka kira. Semua yang terjadi sejak dulu sampai saat ini bukan sekedar mainan. Hidup tidak sebercanda itu. Saya tidak boleh membuat orang tua saya merasa sia-sia memperjuangkan saya selama ini. Perjuangan saya juga tak boleh biasa-biasa saja. Tidak boleh menyamakan diri dengan orang-orang yang berjuang dengan  menyebarkan uang ke orang dalam. Harus ada perubahan. Kehidupan orang tua saya tak boleh seperti ini saja. Mereka harus lebih lebih lebih dan lebih dari sekarang. Saya harus bisa mengembalikan apa yang selama ini mereka beri. Bukan melulu soal materi. Lebih dari itu. Sesuatu yang tak semua orang bisa merasakan.  Sekarang akan saya genggam kuat-kuat ‘masa depan’ saya. Akan saya tebus semua kebahagiaan yang kini tertunda karena keegoisan saya memilih jalan ini.





                                                                                           

0 komentar:

Posting Komentar