Hai,
Meilinda. Apa kabar? Masih sibuk mempersiapkan diri menghadapi UN? Semoga
sukses. J
Aku
sengaja menulis tulisan ini untukmu, Meilinda. Khusus untukmu. Tulisan ini
berisi hal-hal yang mungkin tak kau suka. Hal yang mungkin tak ingin kau
singgung-singgung lagi. Tapi aku tak kuat menahan hasrat untuk tidak mengungkapkan
kata-kata ini kepadamu. Terserah mau kau baca atau tidak, yang penting aku
sudah menuliskannya untukmu.
Meilinda
sayang, kau tahu, aku begitu bingung kepadamu. Aku ingin marah. Aku kecewa. Ya
memang, aku paham kau tidak begitu pintar, tapi aku tidak tahu kalau kau
sebodoh ini. Begitu bodohnya kau membiarkan mimpi-mimpimu hilang begitu saja
hanya untuk sebuah kebohongan, kemunafikan, bualan, omomg kosong, atau apalah
itu. Sebentar lagi kau sudah menjadi mahasiswa, tapi kenapa pikiranmu dangkal
sekali? Oh, Meilinda, aku kecewa.
Mungkin
sekarang keningmu berkerut-kerut dan berkata, “apa yang kau bicarakan?” Baiklah,
akan aku buat kau mengerti, meski sebenarnya aku tahu bahwa kau paham
segala-galanya. Tahu persis.
Malam
itu, ketika kau terlelap bersama boneka-boneka ungumu, aku menyelinap masuk ke
kamarmu. Aku duduk di meja belajarmu. Memandang soal-soal fisika yang kau
hempaskan begitu saja ketika kau tak hafal lagi rumus-rumusnya. Di tumpukan
kertas-kertas itu, aku menemukan buku, semacam diary mungkin, dan maaf aku
membacanya.
Dari
buku itu aku tahu, kau punya banyak mimpi. Khayalanmu tentang mimpi-mimpi itu
membuatku sadar, kau orang paling ambisius yang pernah aku kenal. Kau adalah
orang dengan sejuta semangat yang tak terperikan. Tak peduli berapa kali kau
jatuh, kau selalu bangkit. Jatuh dan bangkit lagi. Tak peduli mereka mencoba
mematikanmu, mimpimu masih tetap hidup. Mati dan kau hidupkan lagi.
Tapi
sayang, begitu membaca diarymu di lembar ke 108, aku menemukan fakta lain.
Semangatmu hanya satu juta. Tak lebih. Lepas dari itu, kau terjatuh bahkan
tersungkur dan tak bangkit lagi. Meilinda, apa yang membuatmu seperti ini?
Dimana ambisi-ambisimu itu? Dimana kau buang semangatmu yang dulu selalu kau
kobar-kobarkan? Kemana? Dimana?
Satu
mimpi dan pengharapan yang paling sering kau tuliskan di diarymu itu –mungkin tak
perlu kusebutkan. Mimpi yang selalu kau genggam dan kau bawa kemana-mana. Mimpi
yang selalu memelukmu saat kau terlelap. Mimpi yang selalu menjadi bayanganmu
kemanapun kau melangkah, tapi kini mimpi itu lepas. Mimpi itu kau lepas dari
pikiranmu. Lepas dari hatimu. Begitu tegakah kau, Meilinda?
Bukan,
bukan itu yang aku permasalahkan. Bukan tentang tega atau tidaknya kau melepas
mimpimu. Tapi tentang alasan kenapa kau berani-beraninya melepas mimpimu yang
sudah membesarkanmu. Sudah menghidupkanmu.
Alasan
yang paling tidak masuk akal yang pernah terucap dari mulutmu, “Ada mimpi yang
lebih indah. Lebih nyata.” Sial! Kau takkan pernah bisa mewujudkan mimpimu
kalau kau masih berpikiran dangkal seperti ini. Tidak, selama kau tidak
benar-benar mencintai mimpi itu. Kau bermimpi indah, tapi begitu kau melihat
mimpi lain yang lebih indah, kau pindah ke mimpi lain itu. Selalu begitu, tanpa
melakukan aksi untuk membuat mimpimu menjadi nyata. Kalau ini berlangsung
terus-menerus, jangan harap kau akan hidup dengan mimpimu. Kau hanya akan jadi
seorang pemimpi!
Meilinda,
mungkin aku telat menuliskan tulisan ini. Aku baru menulis untukmu setelah kau
terjebak dalam mimpi yang kau bilang lebih indah, lebih nyata. Bullshit! Aku
tahu, ini bukan mimpimu. Kau hanya melakukannya karena tergiur atmosfer
keindahan mimpi itu. Ini sama sekali bukan mimpimu, tapi kau terjebak. Kau
terjebak di dalam bualan-bualan itu. Kau harus tetap menjalani rutinitas
kehidupanmu dan aku tahu, sesungguhnya kau tak hidup di dalamnya. Kau tak hidup
dalam hidupmu sendiri. Kau mati! Mengapa kau merusak mimpimu sendiri, Meilinda?
Tapi
semua sudah terjadi, Meilinda. Rasa sesal dan menangis meraung-raung takkan
mengembalikan kesempatan itu. Yang terpenting sekarang, tetaplah berjalan di
garismu. Jalan mengikuti irama kehidupan, hingga ketika kau sampai di
persimpangan kedua, kau bisa meraih kesempatan keduamu pula. Tapi ingat, jangan
ulangi lagi kesalahanmu dulu.
Pada
akhirnya, tetaplah tersenyum kepada kehidupanmu sekarang, dan bahagiakanlah kehidupanmu
yang akan datang.
Aku
rasa hanya itu yang aku sampaikan. Aku lega sudah menuliskannya untukmu, Meilinda.
Aku mencintaimu. Aku mencintaiku.
Sampai
jumpa.
0 komentar:
Posting Komentar