12345678910111213141516171819202122232425262728 Kau Tak Hidup dalam Hidupmu https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1W6iaD-pWVMDEiDGJFL1ESqtn6t-reBv8Y1AMP23xq5cO6GVYQ6dNh4VMRhor4p8TCGdCApsB59XPLhOHU2D60H-rG1tQ1r_TXbMq1DLnXQterutrYNBqMm38lwiym3bWQ94zL8liMzk/s128-no/Loading4.GIF

Kau Tak Hidup dalam Hidupmu

Rabu, 02 April 2014

12345678910111213141516
            Hai, Meilinda. Apa kabar? Masih sibuk mempersiapkan diri menghadapi UN? Semoga sukses. J
            Aku sengaja menulis tulisan ini untukmu, Meilinda. Khusus untukmu. Tulisan ini berisi hal-hal yang mungkin tak kau suka. Hal yang mungkin tak ingin kau singgung-singgung lagi. Tapi aku tak kuat menahan hasrat untuk tidak mengungkapkan kata-kata ini kepadamu. Terserah mau kau baca atau tidak, yang penting aku sudah menuliskannya untukmu.
            Meilinda sayang, kau tahu, aku begitu bingung kepadamu. Aku ingin marah. Aku kecewa. Ya memang, aku paham kau tidak begitu pintar, tapi aku tidak tahu kalau kau sebodoh ini. Begitu bodohnya kau membiarkan mimpi-mimpimu hilang begitu saja hanya untuk sebuah kebohongan, kemunafikan, bualan, omomg kosong, atau apalah itu. Sebentar lagi kau sudah menjadi mahasiswa, tapi kenapa pikiranmu dangkal sekali? Oh, Meilinda, aku kecewa.
            Mungkin sekarang keningmu berkerut-kerut dan berkata, “apa yang kau bicarakan?” Baiklah, akan aku buat kau mengerti, meski sebenarnya aku tahu bahwa kau paham segala-galanya. Tahu persis.
            Malam itu, ketika kau terlelap bersama boneka-boneka ungumu, aku menyelinap masuk ke kamarmu. Aku duduk di meja belajarmu. Memandang soal-soal fisika yang kau hempaskan begitu saja ketika kau tak hafal lagi rumus-rumusnya. Di tumpukan kertas-kertas itu, aku menemukan buku, semacam diary mungkin, dan maaf aku membacanya.
            Dari buku itu aku tahu, kau punya banyak mimpi. Khayalanmu tentang mimpi-mimpi itu membuatku sadar, kau orang paling ambisius yang pernah aku kenal. Kau adalah orang dengan sejuta semangat yang tak terperikan. Tak peduli berapa kali kau jatuh, kau selalu bangkit. Jatuh dan bangkit lagi. Tak peduli mereka mencoba mematikanmu, mimpimu masih tetap hidup. Mati dan kau hidupkan lagi.
            Tapi sayang, begitu membaca diarymu di lembar ke 108, aku menemukan fakta lain. Semangatmu hanya satu juta. Tak lebih. Lepas dari itu, kau terjatuh bahkan tersungkur dan tak bangkit lagi. Meilinda, apa yang membuatmu seperti ini? Dimana ambisi-ambisimu itu? Dimana kau buang semangatmu yang dulu selalu kau kobar-kobarkan? Kemana? Dimana?
            Satu mimpi dan pengharapan yang paling sering kau tuliskan di diarymu itu –mungkin tak perlu kusebutkan. Mimpi yang selalu kau genggam dan kau bawa kemana-mana. Mimpi yang selalu memelukmu saat kau terlelap. Mimpi yang selalu menjadi bayanganmu kemanapun kau melangkah, tapi kini mimpi itu lepas. Mimpi itu kau lepas dari pikiranmu. Lepas dari hatimu. Begitu tegakah kau, Meilinda?
            Bukan, bukan itu yang aku permasalahkan. Bukan tentang tega atau tidaknya kau melepas mimpimu. Tapi tentang alasan kenapa kau berani-beraninya melepas mimpimu yang sudah membesarkanmu. Sudah menghidupkanmu.
            Alasan yang paling tidak masuk akal yang pernah terucap dari mulutmu, “Ada mimpi yang lebih indah. Lebih nyata.” Sial! Kau takkan pernah bisa mewujudkan mimpimu kalau kau masih berpikiran dangkal seperti ini. Tidak, selama kau tidak benar-benar mencintai mimpi itu. Kau bermimpi indah, tapi begitu kau melihat mimpi lain yang lebih indah, kau pindah ke mimpi lain itu. Selalu begitu, tanpa melakukan aksi untuk membuat mimpimu menjadi nyata. Kalau ini berlangsung terus-menerus, jangan harap kau akan hidup dengan mimpimu. Kau hanya akan jadi seorang pemimpi!
            Meilinda, mungkin aku telat menuliskan tulisan ini. Aku baru menulis untukmu setelah kau terjebak dalam mimpi yang kau bilang lebih indah, lebih nyata. Bullshit! Aku tahu, ini bukan mimpimu. Kau hanya melakukannya karena tergiur atmosfer keindahan mimpi itu. Ini sama sekali bukan mimpimu, tapi kau terjebak. Kau terjebak di dalam bualan-bualan itu. Kau harus tetap menjalani rutinitas kehidupanmu dan aku tahu, sesungguhnya kau tak hidup di dalamnya. Kau tak hidup dalam hidupmu sendiri. Kau mati! Mengapa kau merusak mimpimu sendiri, Meilinda?
            Tapi semua sudah terjadi, Meilinda. Rasa sesal dan menangis meraung-raung takkan mengembalikan kesempatan itu. Yang terpenting sekarang, tetaplah berjalan di garismu. Jalan mengikuti irama kehidupan, hingga ketika kau sampai di persimpangan kedua, kau bisa meraih kesempatan keduamu pula. Tapi ingat, jangan ulangi lagi kesalahanmu dulu.
            Pada akhirnya, tetaplah tersenyum kepada kehidupanmu sekarang, dan bahagiakanlah kehidupanmu yang akan datang.
            Aku rasa hanya itu yang aku sampaikan. Aku lega sudah menuliskannya untukmu, Meilinda. Aku mencintaimu. Aku mencintaiku.
            Sampai jumpa.

0 komentar:

Posting Komentar