Hai, kamu yang masih merasa semakin
rindu masa lalu.
Hai, kamu yang masih mendengarkan
lagu kesukaan di masa lalu.
Hai, kamu yang hatinya masih luka sedikit oleh
masa lalu.
Hai, kamu yang masih tak bisa
menahan kepedihan saat masa lalu itu disebutkan.
Hai.
Aku di sini bukan bagian dari masa
lalumu, tak juga berharap menjadi masa depanmu. Tidak (lagi). Aku hanya orang
tak penting yang menganggap penting kebahagiaanmu. Aku hanya salah satu dari
sekian banyak manusia yang peduli terhadap keadaanmu, selalu mencoba mengerti
liku hidupmu, selalu belajar memahami dukamu, dan kalau ingat terkadang aku
berdoa untuk keselamatanmu. Kamu. Untuk kamu yang masih belum bisa berdamai
dengan masa lalumu.
Hai, kamu.
Mungkin kamu akan menyebutku manusia
paling sok tahu didunia, terserahlah. Yang aku tahu, kau berbeda saat kau sadar
bahwa kau telah berada satu langkah di depan masa itu. Kenapa? Kau belum bisa
menerima kalau kau (harus) punya masa lalu? Kau belum bisa mengerti kenapa ada
sesuatu yang berlalu? Kau gagal memahami kenapa jejak-jejak langkah di
belakangmu selalu saja menimbulkan sedikit rasa, uuhmmmm, nyeri di hati?
Tenanglah, kamu bukan satu-satunya
orang yang tidak lulus dalam ujian tentang perjalanan waktu. Aku juga sama,
tidak pernah lulus, meskipun sudah remedial berkali-kali. Terkadang aku
bingung, kenapa yang berjalan selalu berlalu? Kenapa yang datang selalu pergi?
Kenapa yang ada selalu hilang? Kenapa jarum jam bergerak maju, tak pernah
berjalan mundur. Kenapa hitungan dimulai dari 1 2 3 dan seterusnya, bukan 1 2 3
4 3 2 1. Kenapa waktu di masa lalu tak bisa kembali dalam beberapa detik nanti.
Kenapa? Kuharap kau bisa menjelaskannya suatu saat nanti.
Bukan hanya waktu yang tak kembali,
tapi juga keadaan, suasana, perasaan, dan seseorang. Seseorang yang kadang kita
sebut, masa lalu. Entah kenapa, aku selalu tak tega menyebutnya masa lalu. Tapi
untuk terang-terangan menyebut namanya, aku juga tak mampu. Apa kamu juga
begitu? Jawabannya pasti iya (sekarang pasti kau menyebutku sok tahu lagi).
Tak perlu malu, tak usah sungkan,
kita sama. Sama-sama belum bisa berbagi tawa dengan masa lalu. Apakah itu hal
yang mengerikan? Hidup dibayang-bayangi masa lalu. Mau lupa, tak sanggup. Mau
ingat, tak mampu. Haha, kasihan sekali. Tapi tak ada yang lebih menyedihkan
daripada menutup diri dengan dunia luar dengan alasan ‘masa laluku masih
mengawasiku 24 jam.’ Klise. Alibi. Menyedihkan. Kuharap kamu tak begitu, ya.
^^
Suatu hari, aku menemukan tulisan
begini, “Sesuatu yang sangat kita inginkan, terkadang malah jadi hal yang
seharusnya kita jauhi,” entahlah apa maksudnya.Mungkin apa yang menurut kita
bagus, belum itu diperlukan untuk kehidupan kita. Baik tapi bukan yang terbaik.
Barangkali, kalimat itu bisa
diibaratkan untuk masalah klasik kita tentang masa lalu. Jadi begini, misalkan kita amat sangat menyesali semua
yang terjadi sebelum kita menikmatinya, bisa jadi itu adalah garis terbaik
untuk skenario hidup. Sama seperti ketika kau harus rela
menjadikannya masa lalumu. Mungkin ia jauh lebih baik menjadi masa lalumu,
daripada menjadi masa depanmu. Bisa juga dia sekarang memang jadi masa lalumu,
tapi nanti ia akan jadi masa depanmu. Nanti, lihat saja nanti. Semua kembali
lagi ke waktu. Biar waktu yang menjawabnya, biar waktu yang menjelaskannya,
biar waktu yang membuatmu paham tentang pertanyaan-pertanyaan yang sekarang
kita pertanyakan. Waktu takkan pernah salah.

0 komentar:
Posting Komentar