Ini bukan soal apa yang
aku lihat, apa yang aku dengar, dan apa yang aku tulis, tapi ini soal betapa
aku muak terhadap diriku sendiri karena telah membiarkan kekuatan itu lari dari
lingkaran hidupku. Aku telah kehilangan seluruh keberanianku, bahkan untuk
sekedar melihatnya.
Dulu, sebelum keberanian itu pergi
jauh meninggalkanku, aku selalu menikmati kegiatanku ini, meresapi suara
sendunya saat ia bersenandung dengan yang lain, menyusuri tatapan matanya saat
ia memandang mata lain, menggapai senyumnya saat ia tertawa bersama yang lain, mengikuti
gerak lembut ujung jemarinya saat ia menunjuk satu kebahagiaan untuk yang lain,
dan mencoba merangkul lengan kirinya saat tangan kanannya menggenggam tangan
yang lain. Aku selalu menikmati kegiatanku itu. Selalu merasa bahagia walaupun
aku hanya melakukannya dari jauh, hingga akhirnya ku tersadar, yang ada di
depanku hanyalah mimpi, bualan, omong kosong. Yang ada di depanku hanya sebuah
fantasi kesedihan tentang dia. Dia yang selalu membelakangiku, yang selalu menganggapku
anak kecil dengan kertas kosong di tangan. Tapi tak mengapa. Aku bahagia.
Sekarang, untuk sekedar bermimpi
menatap wajahnya dari jauhpun aku tak berani. Aku kehilangan cukup keberanian
untuk menatap jauh ke dalam matanya saat dia melintas. Dan ketika dia berlalu,
aku hanya berani melirik, menemukan kenyataan di ujung rambutnya bahwa aku dan dia
takkan pernah punya cerita.
0 komentar:
Posting Komentar