“I
hate when you treat me so special for one day, and next day I’m just nothing
for you.”
Pernah
dengar kalimat itu? Atau pernah lihat, baca, atau bahkan pernah mengucapkannya?
Aku pernah. Pernah baca dan pernah menuliskannya untuk seseorang.
Lebih kurang artinya seperti ini, “
Aku benci ketika satu hari kamu memperlakukanku dengan sangat spesial, tapi di
hari berikutnya, aku tak berarti apa-apa untukmu.”
Semua yang terjadi di dunia ini sudah
Tuhan atur. Bahkan gugurnya sehelai daun di hutan paling pelosok, jauh, dan
terpencil pun sudah ditentukan oleh-Nya. Begitu juga dengan apa yang kulakukan
waktu itu, pasti sudah digariskan Tuhan.
Hari itu, seseorang mengirim pesan
singkat,”Besok pinjam bukumu,ya.” Aku mengiyakannya dan secara membabi buta merobek
secarik kertas, lalu mulai menulis. Menulis sesuatu yang aku sendiri tak pernah
menyangkanya. “I hate when you treat me
so special for one day, and next day I’m just nothing for you.”
Aku buka buku itu pada halaman 13
dan menyelipkan secari kertas tadi disana. Aku biarkan kertas itu bergabung
dengan lembaran-lembaran berdebu. Aku pandangi sebentar, lalu aku tutup lantas
kudekap buku itu. Aku peluk buku itu bersama sebuah harapan, dia akan membacanya.
Esoknya,
buku yang semalaman kupandangi sudah berpindah tangan ke seseorang itu. Sejak
detik itu, aku tidak pernah tenang. Selalu gelisah menanti respon seseorang
itu.
Beberapa hari kemudian, antara
senang dan kecewa, aku menerima kembali bukuku. Ia, seseorang itu
mengembalikannya tanpa tanggapan yang berarti.
“Terima kasih.” Just like that.
Kecewa? Pasti. Tapi ada kebahagiaan menyelinap diantara puing-puing kesedihan
itu. Entahlah apa sebabnya. Jangan tanyakan mengapa.
Hhhh, kenapa sampai tidak ada respon
begitu. Dia baca atau tidak kertas kecil itu? Atau jangan-jangan bahkan dia
tidak membuka buku itu. Tidak membacanya? Lalu kenapa ia meminjamnya? Atau dia
hanya pura-pura tidak tahu? Atau kertas itu terjatuh sebelum ada di tangannya? Atau
saya lupa menyelipkannya?
Aku buka lagi buku itu. Mencari
kertas kecil di halaman 13. Sialan! Tidak ada. Jangan-jangan memang benar-benar
jatuh dan hilang. Aku buka lagi lembar buku itu, bolak-balik dan terhenti di
halaman 78. Ya, 78. Seseorang pasti telah memindahkannya. Adakah seseorang itu
adalah dia yang kuharapkan membacanya? Oh, semoga. Kuambil kertas itu dan
menyimpan di sebuah kotak. Kotak dengan tulisan di dinding luarnya, barang yang pernah ia sentuh. Damn!
Bodoh! Betapa alaynya aku dulu ( sekarang pun masih :p ).
Kamis, 27 Februari 2014 pukul 09:00,
aku sedang TO mata pelajaran fisika. Saat aku sudah mencari kertas kosong, itu
tandanya aku sudah bosan dan itu saatnya aku beraksi, meluapkan apa yang aku
pikirkan.
Disaat mencoret-coret itulah
tanganku, entah siapa yang memerintahnya, menulis sebuah kalimat. Kalimat yang
sudah lama kucoba lupakan. Kalimat yang sudah lama kucoba hindari. Kalimat yang
membuatku sakit setiap mengingatnya. “I
hate when you treat me so special for one day, and next day I’m just nothing
for you.”
Ah, lagi-lagi kalimat itu. Apa belum
cukup aku disiksa dengan soal-soal fisika yang mematikan itu? Apa aku juga
harus merasakan kekecewaan di tengah susahnya membujuk soal-soal itu untuk
menyelesaikan permasalahannya sendiri? WTF
Detik itu juga aku memejamkan mata. Membuang
jauh-jauh rangkaian kata itu. Tapi semakin ku hapus, semakin kata-kata itu
bersemangat ingin memelukku. Bukan hanya itu, sebuah khayalan tentang betapa inginnya
aku terhadap seseorang itu, kini menyeruak kembali. Membujukku untuk menyambung
khayalan yang dulu terputus.
Dia
menghampriku, memberiku bunga, mengungkapkan perasaannya, kami jadian, dan
menjalin kasih dengan penuh kebosanan.
Membayangkan
aku dan dia berpacaran saja sudah membuatku bosan. Ya, aku bosan. Tunggu,
tunggu… sejak kapan aku bosan memikirkannya (lebih tepatnya memikirkan khayalan
tentang aku dan dia) ? Sejak kapaaaaaaaaaaaaaaaaaaan? Entahlah.
Tiba-tiba sebuah sinar menyilaukan
mataku yang masih terpejam. Sontak aku membuka mata. Tapi bukan pengawas yang
aku temukan di depanku. Bukan juga teman-temanku, melainkan sebuah ruangan
besar sekali. Di sudut ruangan itu, aku melihat dua orang sedang bergurau,
bercanda, berbincang, bahagia. Aku dan seseorang itu. Itu kami. Kami saat masih
berteman akrab. Kami saat belum ada jarak yang memisahkan. Kami yang aku
rindukan. Aku tersenyum.
“Waktu sudah habis!”
Aku tersentak kaget dan menyadari
bahwa aku sudah kembali ke dunia nyata. Saat itu aku sadar, yang kubutuhan hanya dia, sebagai
sahabat terhebatku, tak lebih. Aku tak berharap jadi orang yang ia panggil ‘sayang’.
Tak juga berharap menjadi pemilik hatinya. Aku lebih berharap kami bisa
bersahabat seperti dulu. Seperti sebelum aku salah mengartikan perasaanku
sendiri.
Saat itu juga aku sadar, pengawas
sudaah beranjak pergi meninggalkan ruang ujian, “Tunggu, Pak. Saya belum
selesaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaai…..”
*Lain kali kalau ia meminjam bukuku lagi, aku akan tulis begini...
I just wanted to let U know how glad i'm that we're friends and how much our friendship means to me. Thank for your everything you do that makes you such a special friend. ^^
0 komentar:
Posting Komentar