12345678910111213141516171819202122232425262728 Kertas Kecil di Buku Berdebu https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1W6iaD-pWVMDEiDGJFL1ESqtn6t-reBv8Y1AMP23xq5cO6GVYQ6dNh4VMRhor4p8TCGdCApsB59XPLhOHU2D60H-rG1tQ1r_TXbMq1DLnXQterutrYNBqMm38lwiym3bWQ94zL8liMzk/s128-no/Loading4.GIF

Kertas Kecil di Buku Berdebu

Selasa, 25 Maret 2014

12345678910111213141516
            “I hate when you treat me so special for one day, and next day I’m just nothing for you.”
            Pernah dengar kalimat itu? Atau pernah lihat, baca, atau bahkan pernah mengucapkannya? Aku pernah. Pernah baca dan pernah menuliskannya untuk seseorang.
            Lebih kurang artinya seperti ini, “ Aku benci ketika satu hari kamu memperlakukanku dengan sangat spesial, tapi di hari berikutnya, aku tak berarti apa-apa untukmu.”
            Semua yang terjadi di dunia ini sudah Tuhan atur. Bahkan gugurnya sehelai daun di hutan paling pelosok, jauh, dan terpencil pun sudah ditentukan oleh-Nya. Begitu juga dengan apa yang kulakukan waktu itu, pasti sudah digariskan Tuhan.
            Hari itu, seseorang mengirim pesan singkat,”Besok pinjam bukumu,ya.” Aku mengiyakannya dan secara membabi buta merobek secarik kertas, lalu mulai menulis. Menulis sesuatu yang aku sendiri tak pernah menyangkanya. “I hate when you treat me so special for one day, and next day I’m just nothing for you.”
            Aku buka buku itu pada halaman 13 dan menyelipkan secari kertas tadi disana. Aku biarkan kertas itu bergabung dengan lembaran-lembaran berdebu. Aku pandangi sebentar, lalu aku tutup lantas kudekap buku itu. Aku peluk buku itu bersama sebuah harapan, dia akan membacanya.
            Esoknya, buku yang semalaman kupandangi sudah berpindah tangan ke seseorang itu. Sejak detik itu, aku tidak pernah tenang. Selalu gelisah menanti respon seseorang itu.
            Beberapa hari kemudian, antara senang dan kecewa, aku menerima kembali bukuku. Ia, seseorang itu mengembalikannya tanpa tanggapan yang berarti.
            “Terima kasih.” Just like that. Kecewa? Pasti. Tapi ada kebahagiaan menyelinap diantara puing-puing kesedihan itu. Entahlah apa sebabnya. Jangan tanyakan mengapa.
            Hhhh, kenapa sampai tidak ada respon begitu. Dia baca atau tidak kertas kecil itu? Atau jangan-jangan bahkan dia tidak membuka buku itu. Tidak membacanya? Lalu kenapa ia meminjamnya? Atau dia hanya pura-pura tidak tahu? Atau kertas itu terjatuh sebelum ada di tangannya? Atau saya lupa menyelipkannya?
            Aku buka lagi buku itu. Mencari kertas kecil di halaman 13. Sialan! Tidak ada. Jangan-jangan memang benar-benar jatuh dan hilang. Aku buka lagi lembar buku itu, bolak-balik dan terhenti di halaman 78. Ya, 78. Seseorang pasti telah memindahkannya. Adakah seseorang itu adalah dia yang kuharapkan membacanya? Oh, semoga. Kuambil kertas itu dan menyimpan di sebuah kotak. Kotak dengan tulisan di dinding luarnya, barang yang pernah ia sentuh. Damn! Bodoh! Betapa alaynya aku dulu ( sekarang pun masih :p ).
            Kamis, 27 Februari 2014 pukul 09:00, aku sedang TO mata pelajaran fisika. Saat aku sudah mencari kertas kosong, itu tandanya aku sudah bosan dan itu saatnya aku beraksi, meluapkan apa yang aku pikirkan.
            Disaat mencoret-coret itulah tanganku, entah siapa yang memerintahnya, menulis sebuah kalimat. Kalimat yang sudah lama kucoba lupakan. Kalimat yang sudah lama kucoba hindari. Kalimat yang membuatku sakit setiap mengingatnya. “I hate when you treat me so special for one day, and next day I’m just nothing for you.”
            Ah, lagi-lagi kalimat itu. Apa belum cukup aku disiksa dengan soal-soal fisika yang mematikan itu? Apa aku juga harus merasakan kekecewaan di tengah susahnya membujuk soal-soal itu untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri? WTF
            Detik itu juga aku memejamkan mata. Membuang jauh-jauh rangkaian kata itu. Tapi semakin ku hapus, semakin kata-kata itu bersemangat ingin memelukku. Bukan hanya itu, sebuah khayalan tentang betapa inginnya aku terhadap seseorang itu, kini menyeruak kembali. Membujukku untuk menyambung khayalan yang dulu terputus.
            Dia menghampriku, memberiku bunga, mengungkapkan perasaannya, kami jadian, dan menjalin kasih dengan penuh kebosanan.
            Membayangkan aku dan dia berpacaran saja sudah membuatku bosan. Ya, aku bosan. Tunggu, tunggu… sejak kapan aku bosan memikirkannya (lebih tepatnya memikirkan khayalan tentang aku dan dia) ? Sejak kapaaaaaaaaaaaaaaaaaaan? Entahlah.
            Tiba-tiba sebuah sinar menyilaukan mataku yang masih terpejam. Sontak aku membuka mata. Tapi bukan pengawas yang aku temukan di depanku. Bukan juga teman-temanku, melainkan sebuah ruangan besar sekali. Di sudut ruangan itu, aku melihat dua orang sedang bergurau, bercanda, berbincang, bahagia. Aku dan seseorang itu. Itu kami. Kami saat masih berteman akrab. Kami saat belum ada jarak yang memisahkan. Kami yang aku rindukan. Aku tersenyum.
            “Waktu sudah habis!”
            Aku tersentak kaget dan menyadari bahwa aku sudah kembali ke dunia nyata. Saat itu aku  sadar, yang kubutuhan hanya dia, sebagai sahabat terhebatku, tak lebih. Aku tak berharap jadi orang yang ia panggil ‘sayang’. Tak juga berharap menjadi pemilik hatinya. Aku lebih berharap kami bisa bersahabat seperti dulu. Seperti sebelum aku salah mengartikan perasaanku sendiri.
            Saat itu juga aku sadar, pengawas sudaah beranjak pergi meninggalkan ruang ujian, “Tunggu, Pak. Saya belum selesaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaai…..”
             *Lain kali kalau ia meminjam bukuku lagi, aku akan tulis begini...
I just wanted to let U know how glad i'm that we're friends and how much our friendship means to me. Thank for your everything you do that makes you such a special friend. ^^

0 komentar:

Posting Komentar