12345678910111213141516171819202122232425262728 Aku Takkan kembali Lagi https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1W6iaD-pWVMDEiDGJFL1ESqtn6t-reBv8Y1AMP23xq5cO6GVYQ6dNh4VMRhor4p8TCGdCApsB59XPLhOHU2D60H-rG1tQ1r_TXbMq1DLnXQterutrYNBqMm38lwiym3bWQ94zL8liMzk/s128-no/Loading4.GIF

Aku Takkan kembali Lagi

Sabtu, 15 Maret 2014

12345678910111213141516
                Aku sedang berkumpul dengan teman-teman sekelasku menikmati detik-detik terakhir di sekolah ini, saat dia menghampiriku. Ya, dia.
            “Ngobrol sebentar yuk.”
            “Boleh.”
            Aku mengikuti langkah kakinya yang berjalan pasti menyusuri koridor sekolah. Jujur, aku sedikit grogi dengan keadaan sekarang. Sepanjang perjalanan, lidahku kelu untuk sekedar mengatakan, “Udah lama, ya nggak kayak gini.” Hah, kenapa aku?
            “Di sini kayaknya adem deh.” ia duduk di bawah pohon yang baru di tanam tukang kebun sekolah.
            “Jauh banget ngobrolnya?”
            Dia hanya diam, tak merespon ucapanku. Matanya memandang jauh ke depan dengan sedikit senyum terlukis di bibirnya. Subhanallah, sudah berapa lama aku tak bisa memandang wajahnya sedekat ini. Sudah berapa lama aku tak bisa berada didekatnya hingga tercium aroma tubuhnya. Dua tahun mencoba menghindarinya, ternyata aku masih sayang dia.
            “Udah lama,ya nggak kayak gini.”ucapnya.
            “Hehe, iya.”
            “Aku kangen kamu,” ia menoleh ke arahku. Menatap tajam mataku. Aku tersipu. “Selama ini kamu kemana?” lanjutnya.
            “Aku di sini kok.” jawabku sekenanya.
            “Kamu emang selalu di sini, tapi nggak pernah lagi ada di hati ini.”
            “Ngomong apa sih? Alay deh!”
            “Haha, kamu ngehindari aku?” tanyanya to the point “Aku butuh kamu. Aku nggak berarti apa-apa tanpa kamu. Kita udah jalanin hari-hari bersama, tapi tiba-tiba kamu ngilang gitu aja. Kamu pikir mudah lupain orang yang pernah ngasih kita hidup yang nyaris sempurna? Sulit, Na, sulit!”
            Aku diam.
            “Sekarang, dengan penuh penghormatan, aku minta kita kayak dulu lagi. Sama-sama lagi.”
            Aku masih diam. Tak mau ambil kesimpulan. Aku masih terlalu takut untuk meyakinkan diriku bahwa ia benar-benar memintaku kembali.
            “Semua ini balik lagi ke kamu. Terserah mau kamu gimana. Aku yakin, kamu pasti punya alasan tertentu, kenapa ngehindari aku kayak gitu.”
            “Ya, semua yang terjadi memang ada alasan.” Aku angkat bicara.
            “Keberatan ngasih tau aku apa alasannya?”
            “Amat sangat keberatan”
            “Oke, aku udah angkat tangan. Aku bingung, Na sama kamu. But, it’s oke aku akan coba ngerti. Oh,ya bagaimanapun juga, kita sahabatan dari dulu. Ingat janji kita? Rahasiamu rahasiaku.”
            Aku mengangguk.
            “Aku mau bocorin rahasiaku. Kamu orang pertama yang tau ini.”
            “Apa?” tanyaku sok cuek.
            Ia mengeluarkan bunga dan sebuah boneka kelinci. Hatiku berdesir, jantungku berdetak seirama dengan dentingan detik jam tanganku. Berkali-kali kutanamkan dalam pikiranku, “Jangan big headed, Na!” Tapi kalimat itu seolah tak berarti apa-apa. Otakku selalu memikirkan berbagai kemungkinan terindah yang akan terjadi padaku dan padanya.
            Apakah bunga itu untukku? Apa boneka itu untukku? Apa hatinya untukku?
            “Sebenarnya….” katanya terputus. Lama ia terdiam, membuat jantungku makin tak karuan. Dalam benakku, diam-diam aku berlatih mengucapkan jawaban yang akan kulontarkan nanti, “Ya, aku mau jadi pacar kamu,” atau “Aku bingung, kasih waktu aku 3 hari,” atau pura-pura terkejut “Kamu serius?” Ahhhh, Na, jangan besar kepala!
            “Sebenarnya, hari ini aku mau ngungkapin sesuatu…”
            Nguiing nguiing, suara lalat. Ah ganggu!
            “Aku mau ngungkapin sesuatu sama Dea. Aku mau ngajakin dia balikan.”
            Raawwwr, detak jantung serupa dentingan detik tadi ternyata bom dan sekarang meledak membuncah jiwaku. Napasku seolah habis, tertarik saraf-saraf yang siap menyemburkan isinya lewat mataku. Sekuat mungkin aku coba bertahan.
            “Baiknya, aku ngasih boneka atau bunga, ya Na?” tanyanya lagi. Aku semakin terhempas.
            “Apapun, yang penting dari hati, pasti baik.” ucapku sok bijak.
            “Hmmm, oke. Kamu mau nemenin aku ke Dea? Oh aku lupa, kamukan lagi ngehindari aku. Ya udah, ya aku pergi dulu. Makasih saran sekaligus lukanya.” Ia berlalu, meninggalkanku. Ia meninggalkanku lagi seperti dua tahun lalu. Oh Tuhan, baru saja aku mau mencoba masuk lagi kehidupnya, tapi aku sudah di tolak, bahkan sebelum melangkah masuk gerbang hatinya.

0 komentar:

Posting Komentar