Aku
sedang berkumpul dengan teman-teman sekelasku menikmati detik-detik terakhir di
sekolah ini, saat dia menghampiriku. Ya, dia.
“Ngobrol sebentar yuk.”
“Boleh.”
Aku mengikuti langkah kakinya yang berjalan pasti
menyusuri koridor sekolah. Jujur, aku sedikit grogi dengan keadaan sekarang.
Sepanjang perjalanan, lidahku kelu untuk sekedar mengatakan, “Udah lama, ya
nggak kayak gini.” Hah, kenapa aku?
“Di sini kayaknya adem deh.” ia duduk di bawah pohon yang
baru di tanam tukang kebun sekolah.
“Jauh banget ngobrolnya?”
Dia hanya diam, tak merespon ucapanku. Matanya memandang
jauh ke depan dengan sedikit senyum terlukis di bibirnya. Subhanallah, sudah
berapa lama aku tak bisa memandang wajahnya sedekat ini. Sudah berapa lama aku
tak bisa berada didekatnya hingga tercium aroma tubuhnya. Dua tahun mencoba
menghindarinya, ternyata aku masih sayang dia.
“Udah lama,ya nggak kayak gini.”ucapnya.
“Hehe, iya.”
“Aku kangen kamu,” ia menoleh ke arahku. Menatap tajam
mataku. Aku tersipu. “Selama ini kamu kemana?” lanjutnya.
“Aku di sini kok.” jawabku sekenanya.
“Kamu emang selalu di sini, tapi nggak pernah lagi ada di
hati ini.”
“Ngomong apa sih? Alay deh!”
“Haha, kamu ngehindari aku?” tanyanya to the point “Aku
butuh kamu. Aku nggak berarti apa-apa tanpa kamu. Kita udah jalanin hari-hari
bersama, tapi tiba-tiba kamu ngilang gitu aja. Kamu pikir mudah lupain orang
yang pernah ngasih kita hidup yang nyaris sempurna? Sulit, Na, sulit!”
Aku diam.
“Sekarang, dengan penuh penghormatan, aku minta kita
kayak dulu lagi. Sama-sama lagi.”
Aku masih diam. Tak mau ambil kesimpulan. Aku masih
terlalu takut untuk meyakinkan diriku bahwa ia benar-benar memintaku kembali.
“Semua ini balik lagi ke kamu. Terserah mau kamu gimana.
Aku yakin, kamu pasti punya alasan tertentu, kenapa ngehindari aku kayak gitu.”
“Ya, semua yang terjadi memang ada alasan.” Aku angkat
bicara.
“Keberatan ngasih tau aku apa alasannya?”
“Amat sangat keberatan”
“Oke, aku udah angkat tangan. Aku bingung, Na sama kamu.
But, it’s oke aku akan coba ngerti. Oh,ya bagaimanapun juga, kita sahabatan
dari dulu. Ingat janji kita? Rahasiamu rahasiaku.”
Aku mengangguk.
“Aku mau bocorin rahasiaku. Kamu orang pertama yang tau
ini.”
“Apa?” tanyaku sok cuek.
Ia mengeluarkan bunga dan sebuah boneka kelinci. Hatiku
berdesir, jantungku berdetak seirama dengan dentingan detik jam tanganku. Berkali-kali
kutanamkan dalam pikiranku, “Jangan big headed, Na!” Tapi kalimat itu seolah
tak berarti apa-apa. Otakku selalu memikirkan berbagai kemungkinan terindah
yang akan terjadi padaku dan padanya.
Apakah bunga itu untukku? Apa boneka itu untukku? Apa
hatinya untukku?
“Sebenarnya….” katanya terputus. Lama ia terdiam, membuat
jantungku makin tak karuan. Dalam benakku, diam-diam aku berlatih mengucapkan
jawaban yang akan kulontarkan nanti, “Ya, aku mau jadi pacar kamu,” atau “Aku
bingung, kasih waktu aku 3 hari,” atau pura-pura terkejut “Kamu serius?” Ahhhh,
Na, jangan besar kepala!
“Sebenarnya, hari ini aku mau ngungkapin sesuatu…”
Nguiing nguiing, suara lalat. Ah ganggu!
“Aku mau ngungkapin sesuatu sama Dea. Aku mau ngajakin
dia balikan.”
Raawwwr, detak jantung serupa dentingan detik tadi ternyata
bom dan sekarang meledak membuncah jiwaku. Napasku seolah habis, tertarik
saraf-saraf yang siap menyemburkan isinya lewat mataku. Sekuat mungkin aku coba
bertahan.
“Baiknya, aku ngasih boneka atau bunga, ya Na?” tanyanya
lagi. Aku semakin terhempas.
“Apapun, yang penting dari hati, pasti baik.” ucapku sok
bijak.
“Hmmm, oke. Kamu mau nemenin aku ke Dea? Oh aku lupa,
kamukan lagi ngehindari aku. Ya udah, ya aku pergi dulu. Makasih saran
sekaligus lukanya.” Ia berlalu, meninggalkanku. Ia meninggalkanku lagi seperti
dua tahun lalu. Oh Tuhan, baru saja aku mau mencoba masuk lagi kehidupnya, tapi
aku sudah di tolak, bahkan sebelum melangkah masuk gerbang hatinya.

0 komentar:
Posting Komentar