12345678910111213141516171819202122232425262728 Satu Soal, Satu Pelajaran https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1W6iaD-pWVMDEiDGJFL1ESqtn6t-reBv8Y1AMP23xq5cO6GVYQ6dNh4VMRhor4p8TCGdCApsB59XPLhOHU2D60H-rG1tQ1r_TXbMq1DLnXQterutrYNBqMm38lwiym3bWQ94zL8liMzk/s128-no/Loading4.GIF

Satu Soal, Satu Pelajaran

Kamis, 20 Maret 2014

12345678910111213141516      Jumat, 21 Maret 2014
     Hari ini saya UAS Fisika. Hhhh apa bedanya soal ini dengan racun? Mematikan. Setelah mendaki gunung melewati lembah, saya akhirnya bisa mengerjakan soal ini sebanyak 14 buah. Sisanya, saya lirik kiri kanan. *Uppss
     Saya lebih banyak menghabiskan waktu saat UAS untuk mecoret-coret daripada untuk mecari jawaban. Mau bukti? Nih....
Bagian depan
Bagian belakang
     "Panjang jembatan 80 meter diamati oleh orang dengan kecepatan 0,6 c. Panjang jembatan sesungguhnya adalah....m"
     Soal UAS Fisika saya nomor 35. Jawaban benarnya saya tidak tahu. Tapi dari hasil investigasi ke-3 pakar fisika di kelas saya, jawabannya adalah 60 meter. Entah benar atau tidak, hanya Tuhan yang tahu.
     Dari soal itu, ada satu pelajaran hidup yang saya temui. Tentang sebuah topeng. Topeng kehidupan. Terkadang apa yang kita lihat, tidak selalu sama dengan apa yang sebenarnya. Seperti soal di atas. Jika dilihat, panjang jembatan itu adalah 80 meter. Tapi ternyata panjang jembatan itu adalah 60 meter.
     Topeng. Tidak semua memang, hanya beberapa. Beberapa manusia bersembunyi dibalik topeng yang begitu mempesona. Berdiam diri di sana menikmati indahnya dunia dengan carut-marutnya. Tak dipungkiri, saya pun begitu. Terkadang saya pura-pura prihatin dengan teman satu kelas saya yang bisa dikatakan sedikit kurang dalam pelajaran. Tapi hanya sebatas prihatin. Tidak mencoba menghilangkan prihatin tersebut dengan mengajaknya belajar bersama.
     Jika mengupas lebih dalam lagi, kita akan menemukan topeng tersebut berkeliaran di setiap sudut-sudut kehidupan. Misalnya saja kisah yang baru-baru ini sering muncul di televisi. Tentang seorang bocah bernama Aisyah yang hidup di becak bersama ayahnya, Nawawi. Mencoba menyambung hidup berdua di Medan, Sumatera Utara. Tidur, makan, bercanda, semua  mereka lakukan di becak. Di becak yang mereka sebut rumah. Tak ada pelindung saat matahari menyengat, dan tak ada penghangat saat rintik hujan jatuh satu persatu membasahi tanah Medan. Saat itu, tak ada yang tahu, bahwa si kecil Aisyah menangis. Air matanya menetes bersama hujan yang kian deras. Tidak ada satupun yang tahu bahwa ia menangis. 
     Memang, sekarang air mata kepedihnnya mungkin tak akan muncul sesering dulu. Sekarang ada orang-orang yang memperhatikannya, merawat ayahnya, menyekolahkannya. Bantuan itu datang bertubi-tubi memeluk tubuh kecil Aisyah. Bantuan itu baru datang setelah Aisyah terlunta-lunta lebih satu tahun bersama ayahnya di jalanan Kota Medan. Kenapa baru sekarang? Kenapa tidak dari dulu-dulu? Kenapa?
     Jawabannya mudah saja, karena dulu, orang-orang masih memakai topeng kehidupannya. Kita memang prihatin dan kasihan terhadap nasib bocah kecil itu. Kita iba. Kita iba, tapi tak lantas melakukan tindakan konkret untuk menghapuskan iba dari hati kita. Kita tak kunjung membantu tubuh kecil Aisyah menggayuh sepeda. Kita tak segera merelakan bensin mobil kita untuk mengantar Ayah Nawawi ke rumah sakit. Kita hanya berkata,"Kasihan sekali mereka. Aku jadi sedih melihatnya." Hanya itu!
     Memang dunia begini. Kita memasang raut wajah sedih di hadapan mereka yang kurang beruntung.  Wajah sedih,t api tidak dengan hati. Hati kita tetap tak peduli. Masa bodoh, mereka bukan siapa-siapa saya.
     Ironis memang, tapi apa mau dikata?


0 komentar:

Posting Komentar