Ku
tulis kisah ini diantara susahnya belajar integral. Ya, anggap saja ini sebuah
intermezzo untuk menghilangkan jenuhku terhadap apa yang sedang aku, kamu, kita
jalani.
Hari ini, entah darimana datangnya, dibenakku selalu
terlintas kata ikhlas, ikhlas, ikhlas. Jujur, sampai usiaku 17 tahun ini, aku
tak pernah paham dengan apa yang orang-orang katakan tentang ikhlas. Apa itu
ikhlas? Ikhlas itu apa? Sungguh, sampai kisah ini kutulis, aku belum paham definisi
sebuah kata ‘ikhlas’.
Tapi, ada satu kisah yang membuat pemahamanku tentang
ikhlas sedikit terbuka. Suatu kisah tentang kesabaran, tentang keikhlasan, dan
tentang kebahagiaan. Dia, seorang anak manusia, masih kecil. Tapi keikhlasannya
tak sekecil tubuhnya.
Senin, 17 Maret 2014, dia, anak kecil itu menemui seorang
perempuan yang duduk si sampingku. Lalu perempuan itu berbisik, “Yang kuat ya,
Nak.”
“Aku kuat kok, Bu. Tadi pagikan aku udah minum susu.”kata
anak itu dengan penuh keceriaan. Sang ibu tersenyum.
“Bu, Tuhan itu siapa?”tanya sang anak.
“Tuhan, Dia menciptakanmu, dan suatu saat nanti Dia juga
akan mengambilmu.”
“Diambil? Kenapa?”
“Tuhan akan mengambil anak-anak yang baik, dan akan
menempatkannya di surga.”
“Surga? Apa itu?”
“Tempat paling indah.”
“Benarkah? Apakah di surga aku tetap merasakan sakit? Apa
rambutku akan terus rontok?”
“Tidak, Nak. Surga akan memberimu kebahagiaan. Rambutmu
akan tumbuh lebat, dan kau tak akan merasakan sakit seperti yang kau rasakan
saat ini.”
“Kapan Tuhan menjemputku, Bu?”kata-kata itu meluncur
begitu saja dari mulut kecil itu. Jantungku berdesir.
“Saat kau telah menjadi anak baik.”
“Apa aku anak baik, Bu? Ibu Guru bilang, aku rajin,
sopan, dan penurut. Apa aku anak baik?”
“Ya, kau anak baik, sayang.”
“Yes! Berarti sebentar lagi Tuhan akan mengambilku.”
Kulihat sang ibu mencoba menyembunyikan air matanya. Ia
mendongakkan wajahnya. Sang anak menatapnya nanar.
“Ibu, sebenarnya aku sakit apa? Aku ini perempuan, tapi
kenapa rambutku tidak ada? Aku sakit apa, Bu? Apa aku akan mati?”
Kali ini sang ibu tidak bisa menahan air matanya yang
dari tadi memaksa ingin keluar.
“Ibu, kalau memang aku akan mati, aku tidak apa-apa. Aku
nggak sedih kok. Ibu juga jangan sedih.”ucapnya sambil membasuh air mata di
pipi sang ibu, “Ibu, sekarang Tuhan sedang berbicara dengan kita. Tuhan sedang
berbicara tentang kesabaran dan keikhlasan. Ibu, sungguh aku tidak apa-apa. Jika
Tuhan menghendaki aku mati, maka itulah yang terbaik untukku, Bu. Aku ikhlas
mati, asal aku bisa melihat Ibu tersenyum, daripada aku tetap hidup, tapi
selalu melihat Ibu menangis tiap malam di sampingku. Tuhan sedang berbicara
kepada kita, Bu. Berbicara tentang sabar dan ikhlas. Sabar dan ikhlas, itu inti
kehidupan.”
Lagi, aku terpaku, aku terpukau. Anak sekecil itu punya
pemahaman sebesar ini. Subhanallah, aku merasa benar-benar kecil.
Aku pikir ikhlas itu hanya sebuah kata tanpa makna, yang
hanya digunakan oleh orang-orang munafik untuk pencitraan dirinya. Tapi setelah
bertemu anak ini, aku melihat kedamaian dalam sebuah keikhlasan. Aku bisa
merasakan kalau ikhlas memang sesuatu yang memberi kedamaian.
1 komentar:
^^
Posting Komentar