12345678910111213141516171819202122232425262728 Ikhlas https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1W6iaD-pWVMDEiDGJFL1ESqtn6t-reBv8Y1AMP23xq5cO6GVYQ6dNh4VMRhor4p8TCGdCApsB59XPLhOHU2D60H-rG1tQ1r_TXbMq1DLnXQterutrYNBqMm38lwiym3bWQ94zL8liMzk/s128-no/Loading4.GIF

Ikhlas

Selasa, 18 Maret 2014

12345678910111213141516
                Ku tulis kisah ini diantara susahnya belajar integral. Ya, anggap saja ini sebuah intermezzo untuk menghilangkan jenuhku terhadap apa yang sedang aku, kamu, kita jalani.
            Hari ini, entah darimana datangnya, dibenakku selalu terlintas kata ikhlas, ikhlas, ikhlas. Jujur, sampai usiaku 17 tahun ini, aku tak pernah paham dengan apa yang orang-orang katakan tentang ikhlas. Apa itu ikhlas? Ikhlas itu apa? Sungguh, sampai kisah ini kutulis, aku belum paham definisi sebuah kata ‘ikhlas’.
            Tapi, ada satu kisah yang membuat pemahamanku tentang ikhlas sedikit terbuka. Suatu kisah tentang kesabaran, tentang keikhlasan, dan tentang kebahagiaan. Dia, seorang anak manusia, masih kecil. Tapi keikhlasannya tak sekecil tubuhnya.
            Senin, 17 Maret 2014, dia, anak kecil itu menemui seorang perempuan yang duduk si sampingku. Lalu perempuan itu berbisik, “Yang kuat ya, Nak.”
            “Aku kuat kok, Bu. Tadi pagikan aku udah minum susu.”kata anak itu dengan penuh keceriaan. Sang ibu tersenyum.
            “Bu, Tuhan itu siapa?”tanya sang anak.
            “Tuhan, Dia menciptakanmu, dan suatu saat nanti Dia juga akan mengambilmu.”
            “Diambil? Kenapa?”
            “Tuhan akan mengambil anak-anak yang baik, dan akan menempatkannya di surga.”
            “Surga? Apa itu?”
            “Tempat paling indah.”
            “Benarkah? Apakah di surga aku tetap merasakan sakit? Apa rambutku akan terus rontok?”
            “Tidak, Nak. Surga akan memberimu kebahagiaan. Rambutmu akan tumbuh lebat, dan kau tak akan merasakan sakit seperti yang kau rasakan saat ini.”
            “Kapan Tuhan menjemputku, Bu?”kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut kecil itu. Jantungku berdesir.
            “Saat kau telah menjadi anak baik.”
            “Apa aku anak baik, Bu? Ibu Guru bilang, aku rajin, sopan, dan penurut. Apa aku anak baik?”
            “Ya, kau anak baik, sayang.”
            “Yes! Berarti sebentar lagi Tuhan akan mengambilku.”
            Kulihat sang ibu mencoba menyembunyikan air matanya. Ia mendongakkan wajahnya. Sang anak menatapnya nanar.
            “Ibu, sebenarnya aku sakit apa? Aku ini perempuan, tapi kenapa rambutku tidak ada? Aku sakit apa, Bu? Apa aku akan mati?”
            Kali ini sang ibu tidak bisa menahan air matanya yang dari tadi memaksa ingin keluar.
            “Ibu, kalau memang aku akan mati, aku tidak apa-apa. Aku nggak sedih kok. Ibu juga jangan sedih.”ucapnya sambil membasuh air mata di pipi sang ibu, “Ibu, sekarang Tuhan sedang berbicara dengan kita. Tuhan sedang berbicara tentang kesabaran dan keikhlasan. Ibu, sungguh aku tidak apa-apa. Jika Tuhan menghendaki aku mati, maka itulah yang terbaik untukku, Bu. Aku ikhlas mati, asal aku bisa melihat Ibu tersenyum, daripada aku tetap hidup, tapi selalu melihat Ibu menangis tiap malam di sampingku. Tuhan sedang berbicara kepada kita, Bu. Berbicara tentang sabar dan ikhlas. Sabar dan ikhlas, itu inti kehidupan.”
            Lagi, aku terpaku, aku terpukau. Anak sekecil itu punya pemahaman sebesar ini. Subhanallah, aku merasa benar-benar kecil.
            Aku pikir ikhlas itu hanya sebuah kata tanpa makna, yang hanya digunakan oleh orang-orang munafik untuk pencitraan dirinya. Tapi setelah bertemu anak ini, aku melihat kedamaian dalam sebuah keikhlasan. Aku bisa merasakan kalau ikhlas memang sesuatu yang memberi kedamaian.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

^^

Posting Komentar